SUKU BUGIS-SULAWESI SELATAN
Bugis
merupakan kelompok etnik dengan
wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri
utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu
dan Minangkabau yang merantau
ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan
pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi,
juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar
enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi
Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang
Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.
Awal
Mula
Bugis
adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia
tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang
berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama
kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan
Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We
Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan
jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang
dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini
berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian
mengembangkan kebudayaan, bahasa,
aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa
kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng
dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan
menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar
dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan
antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas
dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua
bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian
Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)
Masa Kerajaan
Kerajaan
Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh
generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri
Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja
mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal
dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan
nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong,
matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng.
istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan
Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian
kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La
Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara
massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat
Kerajaan Makassar
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan
Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang
saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan
kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan
kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).
Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul
dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua,
seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang
memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi
Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari
komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng
yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge
ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang
dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya
Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama
setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi,
kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni
Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We
Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi
Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung
Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa
krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih
La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo.
adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara
Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La
Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara
Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La
Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo
bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Konflik antar Kerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone
mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik
perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di
Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang
Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas
ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh
Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan
mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau
Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun
aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng.
Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui
penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi
Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng.
Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi
yang disebut "tellumpoccoe".
Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama
Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang
mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di
Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan
yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran.
Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang
dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar
yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai
Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang
dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan
ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang
merugikan kerajaan Gowa. Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu
Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di
jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai
kemudian pada tahun 1905-1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang
Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat
Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya
kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring,
yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi
kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat,
tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang
menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
Masa Kemerdekaan
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan
oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan
melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi
Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak
orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi
benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda
Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak mengonsumsi budaya
material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan
pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi,
munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat
dua. Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun
sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya
populasi dan transmigrasi.
Mata Pencaharian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran
rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup
sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis
adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
Perompak
Sejak Perjanjian Bongaya yang
menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda,
orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang
berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal
Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak
lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis
untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh
Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai
barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
Serdadu Bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau
dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai
serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda
mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda,
yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi,
serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand. Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan
kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan
para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
Bugis Perantauan
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun
hingga Malaysia, Filipina, Brunei,
Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang
bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal
nenek moyang mereka
Penyebab Merantau
Konflik antara kerajaan Bugis
dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16,
17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis
bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong
oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat
diraih melalui kemerdekaan.
Bugis di Kalimantan Timur
Sebagian orang-orang Bugis Wajo
dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka
tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan
ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke
daerah Kesultanan Kutai, yaitu
rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang
pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja
Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu
daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan
Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus
membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah
sekitar muara Karang Mumus
(daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam
pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran
sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Bugis
di Sumatera dan Semenanjung Malaysia
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC
pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang
menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta
meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka
turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat
ini banyak raja-raja di Johor & selangor
yang merupakan keturunan Luwu.(source wikipedia)