Sekilas Kisah Kerajaan Belawa bagian Lima
Kisah Kerajaan Belawa bagian Lima
Jika penyerbuan Tana Belawa oleh Wajo Pada era La Tadampare'Puang ri Maggalatung dapat dikatakan sebagai Rumpa'na Belawa MammulangngE, maka inilah Rumpa'na Belawa MaduaE
Belawa, pada penghujung abad XVII, yang ketika La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE Arung MatinroE ri Batu bertahta di Belawa. Raja Belawa ini menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang serta menginjak-injak nilai pribadi kemanusiaan orang Bugis (Siri Na PessE). Perilaku Raja ini terkenal dan ditulis dengan tangan gemetar pada lontara'na TippuluE, dengan istilah "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Bahwa perilaku Raja Belawa pada Setiap hari pasar memerintahkan kepada pengawalnya untuk menggantung (memasang) kelambu di pinggir jalan yang ramai di lewati rakyatnya.
Arung belawa, yang berada di dalam kelambu mengintip keluar, memperhatikan para wanita yang lewat yang menuju kepasar dan kembali ke pasar. setiap Wanita yang memenuhi Syarat Raja, maka Pengawal diperintahkan untuk meringkusnya dan memasukkan secara paksa kedalam kelambu, tanpa memperdulikan status wanita tersebut, apakah sudah bersuami atau masih gadis. Raja ini melakukan tindakan yang tidak pantas dan meluapkan Hasrat seksual nya. Dan pada waktu kini, lokasi tempat Raja Belawa memasang kelambu di abadikan dan ditandai dengan nama : GalungngE Lawiring Kaleng, merupakan area persawahan yang terletak di sebelah Utara SD Negeri Machero, Kelurahan Machero.
Banyak tindakan Lo Oddang Arung Belawa yang sangat radikal perihal kehipudan romantisnya yang meninggalkan torehan sejarah "risih" dimasa kini. Diantaranya adalah penamaan sebuah kampung yang terletak di bagian selatan Belawa, yaitu Limpo MakkunraiyyE, Yang dimana kampung tersebut awalnya adalah tempat La Oddang mengumpulkan (menyekap) wanita-wanita yang disukainya. Sekarang kampung itu diubah menjadi Lempong MakkunraiyyE.
La Oddang Arung Belawa sering melakukan pembunuhan, utamanya pada kerabatnya sendiri yang berani menegur (mengingatkan) perilaku Baginda, dimana yang dilanggar adalah Siri na PessE. Di lain sisi, La Oddang Arung Belawa berkehendak Tana Belawa ingin lepas dari dominasi Kerajaan Wajo. Keputusan ini tindakan separatis yang teramat berani, La Oddang terobsesi bahwa Tana Belawa adalah tanah Merdeka sebagaimana awalnya didirikan oleh DatuE La Monri Arung Belawa MammulangngE MantinroE ri Gucinna sebagai leluhur Belawa.
Untuk mencapai keinginan itu, maka Raja Belawa La Oddang meminta dukungan dari Addatuang Sidenreng (Raja Sidenreng) mengingat ibu dari Raja Belawa yakni DatuE Arateng bersaudara dengan Addatuang Sidenreng.
Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, bahwa Tana Belawa adalah bagian dari wilayah Serikat dari Tana Wajo yang bernaung pada bendera Ranreng Tuwa sejak pemerintahan Arung Matoa Wajo La Tadampare'Puang ri Maggalatung dengan status Ana' Macenning. Mendengar tindakan Arung Belawa La Oddang yang brutal itu, Maka Arung Matoa (Raja Wajo) beserta segenap Arung PatappuloE mengutus Suro ri batei untuk memanggil Raja Belawa ke Tosora (KotaRaja Wajo) untuk diberikan peringatan agar menghentikan Tindakan dan keputusannya.
Sesampainya di hadapan Arung Belawa, Suro ri Batei menyampaikan pesan Arung Matoa serta Petta EnnengngE. Mendengar maklumat itu, meledaklah murka Arung Belawa. Baginda turun tangan sendiri menikam utusan tersebut hingga tewas di tempat itu. Mengetahui Suro ri Batei diperlakukan demikian, maka Arung Matoa geram.
Setelah melihat tidak ada lagi jalan lain, pada puncak kemarahannya Arung Matoa atas persetujuan Petta EnnengngE dan Ade' PatappuloE, memutuskan memberi ganjaran kepada Arung Belawa dengan status hukuman I Paoppangi Tana atau Ipaggeoni Wennang Cella'. Sebuah pasukan terlatih dan bersenjata lengkap dalam jumlah besar dibina untuk menyerang Belawa. Pasukan ini dipimpin oleh La Sappo Petta Ugi Arung Liu (merangkap Arung Palireng, Soppeng).
Suatu hal yang unik Disini, bahwa yang berhak memimpin perang dari Tana Wajo dalam hal memadamkan pemberontakan Kerajaan Bawahan adalah Petta Pilla'E selaku Panglima besar yang dijabat secara turun temurun oleh Datu Pammana. Namun peristiwa ini, La Sappo Petta Ugi yang dipilih untuk memimpin pasukan untuk menyerang Belawa, mengingat La Sappo Petta Ugi adalah saudara ipar dari La Oddang Arung Belawa. ( La Sappo menikah dengan adik La Oddang, yaitu I Besse Tungka').
Keputusan ini di tempuh dengan pertimbangan untuk menjaga kewibawaan AkkarungengngE Belawa. Seolah-olah Penyerbuan ini bukanlah Hukuman dari Tana Wajo, melainkan lebih di artikan sebagai pertikaian dalam keluarga atau digambarkan sebagai seorang saudara mengingatkan saudaranya yang lain dengan cara yang lebih keras.
Maka penyerbuan itu benar-benar terjadi, Pasukan Wajo mengalir memasuki Tana Belawa melalui Danau Tempe. Pasukan La Sappo menumpang perahu mendapat di Limpo MakkunraiyyE. Namun tidak seperti dibayangkan semula, pasukan Belawa tidak memberikan perlawanan yang berarti. Hal ini disebabkan karena terjadi perpecahan dalam internal pasukan Belawa sendiri. Sebagian besar Pasukan Belawa yang dipimpin oleh Petta Pangulu Barisi'E (Panglima Belawa) tidak bersedia bertempur membela Arung Belawa. Bahkan Pasukan Belawa menyambut dan mengelu-elukan pasukan Wajo uang di Pimpin La Sappo karena di anggap sebagai pembebas dari tirani yang menyengsarakan mereka selama ini.
La Oddang Arung Belawa dengan beberapa Pasukan setianya, mundur menuju Bulu Cenrana, yakni sebuah daerah asal muasal Raja Belawa Pertama, leluhur dari Arung Belawa. Maka rombongan Raja Belawa ini menyusuri sungai KarajaE kearah Utara. Namun kebiasaan buruk Lao Oddang tetap tidak dapat ditinggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis dan terdesak. La Oddang mengumbar Hasrat seksual nya di sepanjang perjalanannya dengan selalu "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Tempat La Oddang yang paling lama ia Singgahi adalah di pinggir sebuah anak sungai KarajaE yang terletak di Lonra Yase, sehingga anak sungai itu diberi nama : Salo'e La Bulu Lessi. Namun mengingat penamaan tersebut dianggap tabu, maka pada masa sekarang di ubah menjadi : Salo MakkunraiyyE.
Melalui perjalanan yang menempuh berbagai kesulitan disebabkan tingkah Arung Belawa disepanjang perjalanan, akhirnya rombongan Ini tiba di Batu, yaitu sebuah Kerajaan kecil yang merupakan Wilayah Bulu Cenrana. Mengetahui La Oddang tiba di Kerajaan nya, Arung Batu dengan segala hotmatnya menyambut Raja Belawa bersama dengan pengikutnya. Melihat Keramahan dari Arung Batu, Arung Belawa terkesan dan memutuskan untuk tinggal menetap di Batu.
Dengan tulus, Arung Batu membangun pemukiman yang layak untuk Arung Belawa beserta Pengikutnya. Maka La Oddang yang menerima segala kebaikan tersebut tidak akan melakukan tindakan Seksual yang selama ini sebagai kebiasaannya. Arung Belawa dengan segala kekurangannya tetaplah pada dasarnya adalah manusia yang bernurani. Kelembutan dan ketulusan Arung Batu menyentuh hati La Oddang. Padahal jika di fikir, buat apalagi memuliakan seorang Raja yang kini tanpa kekuasaan apa-apa ? Seorang Raja yang tidak lebih merupakan Eksudos yang memerlukan belas kasih. Namun karena semangat PessE (solidaritas kemanusiaan), maka Arung Batu senantiasa menghargai serta memberikan perlindungan kepada La Oddang sebagai kerabat yang dimuliakan.
Perlahan namun pasti, La Oddang Arung Belawa mulai merubah prilakunya. Jika Allah berkenan melimpahkan petunjuk dan hidayah-Nya, maka tidak sesuatu yang dapat menghalangi-Nya. Akhirnya La Oddang benar benar sadar dan melanjutkan sisa hidupnya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanallah Wataalah.
Beberapa tahun kemudian, Arung Belawa ini wafat, dan nama beliau tecatat dalam Lontara Pangurisengna TippuluE sebagai : La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE MatinroE ri Batu.
Semarak HUT RI di Belawa |
Rumpa'na Belawa MaduaE
Jika penyerbuan Tana Belawa oleh Wajo Pada era La Tadampare'Puang ri Maggalatung dapat dikatakan sebagai Rumpa'na Belawa MammulangngE, maka inilah Rumpa'na Belawa MaduaE
Belawa, pada penghujung abad XVII, yang ketika La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE Arung MatinroE ri Batu bertahta di Belawa. Raja Belawa ini menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang serta menginjak-injak nilai pribadi kemanusiaan orang Bugis (Siri Na PessE). Perilaku Raja ini terkenal dan ditulis dengan tangan gemetar pada lontara'na TippuluE, dengan istilah "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Bahwa perilaku Raja Belawa pada Setiap hari pasar memerintahkan kepada pengawalnya untuk menggantung (memasang) kelambu di pinggir jalan yang ramai di lewati rakyatnya.
Arung belawa, yang berada di dalam kelambu mengintip keluar, memperhatikan para wanita yang lewat yang menuju kepasar dan kembali ke pasar. setiap Wanita yang memenuhi Syarat Raja, maka Pengawal diperintahkan untuk meringkusnya dan memasukkan secara paksa kedalam kelambu, tanpa memperdulikan status wanita tersebut, apakah sudah bersuami atau masih gadis. Raja ini melakukan tindakan yang tidak pantas dan meluapkan Hasrat seksual nya. Dan pada waktu kini, lokasi tempat Raja Belawa memasang kelambu di abadikan dan ditandai dengan nama : GalungngE Lawiring Kaleng, merupakan area persawahan yang terletak di sebelah Utara SD Negeri Machero, Kelurahan Machero.
Banyak tindakan Lo Oddang Arung Belawa yang sangat radikal perihal kehipudan romantisnya yang meninggalkan torehan sejarah "risih" dimasa kini. Diantaranya adalah penamaan sebuah kampung yang terletak di bagian selatan Belawa, yaitu Limpo MakkunraiyyE, Yang dimana kampung tersebut awalnya adalah tempat La Oddang mengumpulkan (menyekap) wanita-wanita yang disukainya. Sekarang kampung itu diubah menjadi Lempong MakkunraiyyE.
La Oddang Arung Belawa sering melakukan pembunuhan, utamanya pada kerabatnya sendiri yang berani menegur (mengingatkan) perilaku Baginda, dimana yang dilanggar adalah Siri na PessE. Di lain sisi, La Oddang Arung Belawa berkehendak Tana Belawa ingin lepas dari dominasi Kerajaan Wajo. Keputusan ini tindakan separatis yang teramat berani, La Oddang terobsesi bahwa Tana Belawa adalah tanah Merdeka sebagaimana awalnya didirikan oleh DatuE La Monri Arung Belawa MammulangngE MantinroE ri Gucinna sebagai leluhur Belawa.
Untuk mencapai keinginan itu, maka Raja Belawa La Oddang meminta dukungan dari Addatuang Sidenreng (Raja Sidenreng) mengingat ibu dari Raja Belawa yakni DatuE Arateng bersaudara dengan Addatuang Sidenreng.
Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, bahwa Tana Belawa adalah bagian dari wilayah Serikat dari Tana Wajo yang bernaung pada bendera Ranreng Tuwa sejak pemerintahan Arung Matoa Wajo La Tadampare'Puang ri Maggalatung dengan status Ana' Macenning. Mendengar tindakan Arung Belawa La Oddang yang brutal itu, Maka Arung Matoa (Raja Wajo) beserta segenap Arung PatappuloE mengutus Suro ri batei untuk memanggil Raja Belawa ke Tosora (KotaRaja Wajo) untuk diberikan peringatan agar menghentikan Tindakan dan keputusannya.
Sesampainya di hadapan Arung Belawa, Suro ri Batei menyampaikan pesan Arung Matoa serta Petta EnnengngE. Mendengar maklumat itu, meledaklah murka Arung Belawa. Baginda turun tangan sendiri menikam utusan tersebut hingga tewas di tempat itu. Mengetahui Suro ri Batei diperlakukan demikian, maka Arung Matoa geram.
Setelah melihat tidak ada lagi jalan lain, pada puncak kemarahannya Arung Matoa atas persetujuan Petta EnnengngE dan Ade' PatappuloE, memutuskan memberi ganjaran kepada Arung Belawa dengan status hukuman I Paoppangi Tana atau Ipaggeoni Wennang Cella'. Sebuah pasukan terlatih dan bersenjata lengkap dalam jumlah besar dibina untuk menyerang Belawa. Pasukan ini dipimpin oleh La Sappo Petta Ugi Arung Liu (merangkap Arung Palireng, Soppeng).
Suatu hal yang unik Disini, bahwa yang berhak memimpin perang dari Tana Wajo dalam hal memadamkan pemberontakan Kerajaan Bawahan adalah Petta Pilla'E selaku Panglima besar yang dijabat secara turun temurun oleh Datu Pammana. Namun peristiwa ini, La Sappo Petta Ugi yang dipilih untuk memimpin pasukan untuk menyerang Belawa, mengingat La Sappo Petta Ugi adalah saudara ipar dari La Oddang Arung Belawa. ( La Sappo menikah dengan adik La Oddang, yaitu I Besse Tungka').
Keputusan ini di tempuh dengan pertimbangan untuk menjaga kewibawaan AkkarungengngE Belawa. Seolah-olah Penyerbuan ini bukanlah Hukuman dari Tana Wajo, melainkan lebih di artikan sebagai pertikaian dalam keluarga atau digambarkan sebagai seorang saudara mengingatkan saudaranya yang lain dengan cara yang lebih keras.
Maka penyerbuan itu benar-benar terjadi, Pasukan Wajo mengalir memasuki Tana Belawa melalui Danau Tempe. Pasukan La Sappo menumpang perahu mendapat di Limpo MakkunraiyyE. Namun tidak seperti dibayangkan semula, pasukan Belawa tidak memberikan perlawanan yang berarti. Hal ini disebabkan karena terjadi perpecahan dalam internal pasukan Belawa sendiri. Sebagian besar Pasukan Belawa yang dipimpin oleh Petta Pangulu Barisi'E (Panglima Belawa) tidak bersedia bertempur membela Arung Belawa. Bahkan Pasukan Belawa menyambut dan mengelu-elukan pasukan Wajo uang di Pimpin La Sappo karena di anggap sebagai pembebas dari tirani yang menyengsarakan mereka selama ini.
La Oddang Arung Belawa dengan beberapa Pasukan setianya, mundur menuju Bulu Cenrana, yakni sebuah daerah asal muasal Raja Belawa Pertama, leluhur dari Arung Belawa. Maka rombongan Raja Belawa ini menyusuri sungai KarajaE kearah Utara. Namun kebiasaan buruk Lao Oddang tetap tidak dapat ditinggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis dan terdesak. La Oddang mengumbar Hasrat seksual nya di sepanjang perjalanannya dengan selalu "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Tempat La Oddang yang paling lama ia Singgahi adalah di pinggir sebuah anak sungai KarajaE yang terletak di Lonra Yase, sehingga anak sungai itu diberi nama : Salo'e La Bulu Lessi. Namun mengingat penamaan tersebut dianggap tabu, maka pada masa sekarang di ubah menjadi : Salo MakkunraiyyE.
Melalui perjalanan yang menempuh berbagai kesulitan disebabkan tingkah Arung Belawa disepanjang perjalanan, akhirnya rombongan Ini tiba di Batu, yaitu sebuah Kerajaan kecil yang merupakan Wilayah Bulu Cenrana. Mengetahui La Oddang tiba di Kerajaan nya, Arung Batu dengan segala hotmatnya menyambut Raja Belawa bersama dengan pengikutnya. Melihat Keramahan dari Arung Batu, Arung Belawa terkesan dan memutuskan untuk tinggal menetap di Batu.
Dengan tulus, Arung Batu membangun pemukiman yang layak untuk Arung Belawa beserta Pengikutnya. Maka La Oddang yang menerima segala kebaikan tersebut tidak akan melakukan tindakan Seksual yang selama ini sebagai kebiasaannya. Arung Belawa dengan segala kekurangannya tetaplah pada dasarnya adalah manusia yang bernurani. Kelembutan dan ketulusan Arung Batu menyentuh hati La Oddang. Padahal jika di fikir, buat apalagi memuliakan seorang Raja yang kini tanpa kekuasaan apa-apa ? Seorang Raja yang tidak lebih merupakan Eksudos yang memerlukan belas kasih. Namun karena semangat PessE (solidaritas kemanusiaan), maka Arung Batu senantiasa menghargai serta memberikan perlindungan kepada La Oddang sebagai kerabat yang dimuliakan.
Perlahan namun pasti, La Oddang Arung Belawa mulai merubah prilakunya. Jika Allah berkenan melimpahkan petunjuk dan hidayah-Nya, maka tidak sesuatu yang dapat menghalangi-Nya. Akhirnya La Oddang benar benar sadar dan melanjutkan sisa hidupnya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanallah Wataalah.
Beberapa tahun kemudian, Arung Belawa ini wafat, dan nama beliau tecatat dalam Lontara Pangurisengna TippuluE sebagai : La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE MatinroE ri Batu.
Tulisan Asli : http://andioddang.blogspot.com/