Sekilas kisah Kerajaan Belawa bagian Ke empat - CENDEKIA ULUNG

Jumat, 05 Oktober 2018

Sekilas kisah Kerajaan Belawa bagian Ke empat

Kisah kerajaan Belawa bagian ke empat
Gerbang masuk Belawa dari Sidrap 
Musu Aselengeng

Pada awal abad XVII, yakni sekitar tahun 1600 M Sulawesi Selatan dikunjungi oleh ulama-ulama besar yang merupakan mubaligh pengembang risalah Islam dari Minangkabau, Sumatera Barat. Mereka terdiri dari tiga orang, yakni :

  1. Abdul Makmur Khatib Tunggal yang bergelar Datok ri Bandang 
  2. Sulaiman Datok Sulung yang digelari Datok Patimang
  3. Abdul Jawad Maulah Khatib Bungsu bergelar Datok Tiro
Ketiga mubaligh tersebut tiba di Pelabuhan Makassar yang merupakan Pelabuhan besar di Kerajaan kembar yaitu Gowa-Tallo (sekarang Makassar) yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia pada waktu itu. 

Ketiga Mubaligh itu tinggal bersama, berbaur dengan para pedagang melayu di luar tembok Kerajaan Tallo dan memulai menjalankan aktivitas nya sebagai penyebar agama Islam. Namun karateristik budaya masyarakat setempat (suku Makassar) terasa sulit untuk menerima yang datang dari luar komunitas mereka. Bahkan dari informasi yang mereka dapatkan dari masyarakat Gowa disekitarnya, bahwa beberapa tahun sebelumnya Babullah Sultan Ternate dari kepulauan Maluku mengajak Somba Gowa, Tunijallo (Raja Gowa) untuk masuk Islam, namun di tolak oleh sombayya sendiri.

masyarakat Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan pada umumnya ) mempunyai kerakter unik, dimana implementasi Siri na PessE yang merupakan inti paling luhur pada segala nilai perilaku adat dan budayanya, senantiasa menghendaki kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri. Sebagai contoh :

Seseorang yang di nasehati atau ditegur (iyampareng) oleh orang lain (Tania Tomasirina /reppena), maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran Siri. Dari itulah sehingga alur sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan sangat berbeda atau bahkan kontradiktif dengan daerah lainnya di Indonesia. Di Jawa, penyebaran agama Islam berawal dari rakyat jelata lalu berkembang sampai ke Raja dan kerabatnya. Sebaliknya di Sulawesi Selatan, risalah Islam selamanya dimulai pada Raja beserta pejabatnya kemudian memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengikuti Raja nya. 

Menyadari situasi dan kondisi tersebut, maka ketiga Mubaligh itu menyusun strategi yang disesuaikan dengan penalaran mereka tentang realitas politik di Sulawesi Selatan pada Zaman itu, yakni : Raja yang paling berkuasa adalah Raja di Gowa (Sombayya) dan Raja yang paling dimuliakan adalah Raja Luwu (PajungE) yang dianggap sebagai asal muasal bangsawan di Sulawesi.

Berbekal strategi itu, maka ketiga Mubaligh itu berangkat ke Tana Luwu dan langsung menemui La Tandipau Opunna Ware' Maddika Ponrang yang terlebih dahulu masuk Islam dengan gelar : AssellengengngE. Kemudian Maddika Ponrang yang mengantar ketiga Mubaligh tersebut menghadap PajungE yang pada masa itu dijabat oleh : La Patiware Sangaji Pati Arase' Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII. Mereka mengadakan dialog yang cukup lama tentang seluk beluk Agama Islam. 

Bahkan PajungE menerapkan beberapa macam ujian yang sangat sulit untuk membuktikan kebenaran Islam. Akhirnya PajungE bersama rakyatnya mengucapkan Dua Kalimat Syahadat pada tanggal 15 Ramadhan 1013 H (1603) dan Raja Luwu selalu Raja Islam di beri gelar tambahan, yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin serta tambahan gelar lagi ketika wafat yaitu Petta MatinroE ri Pattimang.

Setelah sukses menegakkan syiarnya di Luwu, maka dalam waktu tidak terlalu lama Sombayya Gowa (Raja Gowa) yang bernama I mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XVI (gelar Islam : Sultan Alauddin) dan Karaeng Tallo (Raja Tallo) I Malingkaan Daeng Manyonri (gelar Islam: Sultan Abdullah Awwalul Islam), bersama dengan segenap kerabat Istana Gowa-Talll mengucapkan Kalimat Syahadat pada hari Jum'at 9 Jumadil Awal 1015 Hijriah (22 September 1605 M).

Maka terpenuhilah langkah-langkah strategi sebagaimana direncanakan sebelumnya oleh ketiga Mubaligh tersebut. Gowa sebagai kerajaan paling kuat, di jadikan sebagai pusat penyebaran syiar Islam ke kawasan Kerajaan Tellompoccoe yaitu Bone, Wajo, Soppeng, di bawah pimpinan Sultan Alauddin Raja Gowa.

Tidak seperti halnya dengan jalannya misi ke Luwu dan Gowa, maka penyebaran Islam pada Ketiga Kerajaan Bugis itu mendapatkan tantangan berat. Dapat dimaklumi bahwa penyebab penolakan tersebut adalah karena urusan penyebar Islam ini melibatkan Kerajaan Gowa secara langsung. Dengan demikian, ketiga kerajaan tersebut beranggapan bahwa menerima Islam berarti takluk terhadap kekuasaan Gowa yang pada waktu itu Gowa dengan Kerajaan Bugis sering konflik.

Berbeda dengan Kerajaan Bone, La Tenri Ruwa Arung Palakka Mangkau' ri Bone XI dapat melihat kebenaran Islam sebagai agama yang benar dan kemudian mengucapkan kalimat syahadat dengan penuh keikhlasan dan diberi gelar Islam yaitu : Sultan Adam.

Namun rakyat Bone melalui Ade' PituE menolak dengan memberi opsi kepada Raja Bone :

"Tega Tapile, Akkarungetta iyarega Teppe'ta ?". Yang mana anda pilih, tahta atau agama ?..

Maka dengan tanpa keraguan sedikitpun Raja Bone itu memilih agamanya, lalu bersama dengan kerabat dekatnya mereka meninggalkan Tana Bone menuju Bantaeng dan menetap di Daerah itu sampai wafat nya hingga di beri gelar : Petta MatinroE ri Bantaeng.

Di lain sisi, La Sangkuriang Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo (Raja Wajo), BeoE Datu Soppeng (Raja Soppeng), dan La Tenri Pale' Mangkau' ri Bone XII (Raja Bone) pengganti La Tenri Ruwa, bersiap siap menyambut serbuan Bala tentara Kerajaan Gowa sebagai akibat penolakan mereka terhadap ajakan Somba Gowa (Raja Gowa).

Maka penyerbuan itu benar benar di laksanakan Kerajaan Gowam Peperangan ini disebut dalam Lontara sebagai Musu Aselengeng.

Sebagai langkah awal, Pasukan Gowa terlebih dahulu menyerbu kerajaan kecil dari ketiga kerajaan tersebut. Namun banyak dari kerajaan kecil itu menerima Islam dengan damai, sehingga tidak terjadi peperangan. Bahkan lebih jauh lagi mereka bergabung pada Penyerbuan yang di pimpin langsung Raja Gowa sehingga pasukan itu terhimpun menjadi pasukan yang amat besar.

Pasukan ekspedisi itu akhirnya tiba di Sawitto (daerah Pinrang). Addatuang Sawitto ke-IX bernama I Tenri Sulle Daeng Buleang menerima baik Somba Gowa dan secara tulus ikhlas menerima Agama Islam pada tahun 1017 Hijriah (1607).

di daerah Sawitto, Sultan Alauddin ( Raja Gowa) mengatur strategi ekspedisi lebih lanjut ke daerah lainnya. Akhirnya Pasukan Gowa dengan yang telah bergabung bertemu dengan pasukan Tellompoccoe di kampung Pakkenya. Terjadilah pertempuran besar yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa pada kedua belah pihak.

Setelah pertempuran terjadi selama beberapa hari, pasukan Gowa mulai tersedak. Pasukan Tellompoccoe menyerang semakin gencar, sehingga orang-orang Gowa beserta sekutunya berusaha meloloskan diri sambil membawa Raja Gowa untuk tiba kembali ke kerajaan Gowa.

Tiga bulan setelah penyerbuan yang gagal itu, Sultan Alauddin (Raja Gowa) menyusun kekuatan kembali. Pasukan Gowa mendarat di Akkotengeng (wilayah Wajo) dan mendapatkan sambutan baik. Arung Akkotengeng menerima Islam dan memihak Raja Gowa, menyusul pula Arung Akkajeng, Arung Padaelo, Arung Kera dan Arung Sakkoli. Sejak itulah sehingga kerabat ke-5 Kerajaan Bawahan Wajo tersebut menggemari bangsawannya sebagai : Petta KaraengngE sebagai penghargaan atas Budi baiknya terhadap Raja Gowa.

Mengetahui kejadian tersebut, Arung Matoa Wajo mengirim utusan untuk menegur Kerajaan Bawahannya itu yang dianggap sebagai pengkhianatan sambil mengingatkan ikrar yang sejak dulu di bina sejak Arung Matoa La Tadampare'Puang ri Maggalatung. Namun kerajaan bawahan itu menjawab :

"Dewata seuwwaena passarangngi', nasaba' engka Akkacoereng mannessa Tongeng, napputea Wajo maccoeri..."

Semalam setelah utusan Wajo tiba dari Sakkoli, Pasukan Gabungan Tellompoccoe menyerbu pasukan Gowa di Akkotengeng. Terjadilah pertempuran sengit, namun kembali pasukan Gowa terpukul telak. Sultan Alauddin nyaris tertangkap andaikan tidak mendapat bantuan dari La Wawoi Arung Gilireng bersama pasukannya meloloskan Raja Gowa beserta sebagian pasukannya yang masih hidup kembali ke Gowa.

I Manggurangi Daeng Mangrabia Sultan Alauddin sosok seorang Raja yang amat keras Hati dan pantang menyerah terhadap apapun yang menghambat segala yang telah di rencanakannya. Enam bulan berlalu setelah kekalahannya di Akkotengeng Wajo, Raja Gowa kembali menyusun penyerangan dan mendaratkan pasukannya di daerah Para'-Para' (pare-Pare). Pendaratan itu di ketahui oleh Pasukan Tellompoccoe dan segera mencegatnya di lereng Bulu DituppuE (daerah sekitar amparita).

Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat mengakibatkan gugurnya pimpinan pasukan Soppeng, diantaranya : La Tijawa Arung Bila. Pasukan Tellompoccoe terpukul mundur sampai di Lalempulu (wilayah Sidenreng). Melihat pasukan lawannya mundur meninggalkan Medang pertempuran, maka Sultan Alauddin segera membangun .Pertahanan di daerah itu sambil mengkontrol kembali pasukannya.

Tiga Raja Bersaudara yakni, La Patiro Addatuang Sidenreng VI, La Makkeppeang To Aggiling Arung Belawa Timoreng dan La Wawoi Arung Gilireng mengetahui bahwa Sultan Alauddin sedang membuat basis pertahanan di Amparita, maka ketiga Raja itu berkumpul di Allakuang yang merupakan KotaRaja Sidenreng pada masa itu.

Perlu diketahui bahwa ketika Sultan Alauddin berada di Akkotengeng ketika Pasukan Gowa ingin menyerbu Tellompoccoe, La Wawoi Arung Gilireng merupakan salah satu Raja yang tertarik dengan Ajaran Islam yang di bawah oleh Raja Gowa. Disebabkan karena itulah sehingga Arung Gilireng tidak dapat berdiam diri ketika mengetahui Raja Gowa sedang terkepung oleh pasukan Tellompoccoe, maka segera menerjunkan diri di kancah pertempuran dengan pasukan pemberaninya untuk menyelamatkan Sultan Alauddin. Walaupun itu berarti merupakan sebuah penghianatan atas ikrar penyatuan Gilireng sebagai Lili (daerah taklukkan) Wajo dimasa Lalu Tadampare'Puang ri Maggalatung.

Akhirnya Sultan Alauddin berkunjung ke Saoraja Allakuang, disambut dengan penuh hormat oleh Raja-Raja yang telah menunggunya. Raja-raja itu ialah : Addatuang Sidenreng (tuan rumah), Arung Belawa, Arung Gilireng, Arung Rappeng, Arung Maiwa, Arung Bulu Cenrana, dan Arung Utting. Pada saat itulah Raja Raja tesebut mengucapkan Dua kalimat syahadat pada tahun 1028 H.

Atas usul Addatuang Sidenreng La Patiroi, maka Raja Gowa membangun benteng pertahanan di Rappeng. Beberapa waktu setelah itu, Pasukan Tellompoccoe menyerang dengan dahsyat benteng pertahanan di Rappeng. Namun Aliansi Pasukan Islam dibawah pimpinan Sultan Alauddin lebih siap dengan strategi pertahanan yang lebih terkoordinasi. Maka pasukan Tellompoccoe di pukul mundur dan kembali ke kerajaan nya masing-masing.

Dua bulan setelah penyerangan itu, pasukan Gowa dan segenap aliansinya menyerbu Pusat pertahanan pasukan Soppeng di Tanete (Mario riawa). Kali ini, pasukan Soppeng tidak mendapat bantuan dari pasukan Wajo dan Bone karena mereka sibuk mengatur basis pertahanannya masing-masing.

Kekuatan pasukan Tellompoccoe telah pecah, kerajaan bawahan Soppeng, satu demi satu ditaklukkan. Akhirnya pertempuran habis-habisan yang menelan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak. Kerajaan Soppeng takluk dan menyatakan kalah perang pada Gowa dan aliansinya. Satu Soppeng BeoE menerima agama Islam pada tanggal 15 Syawal 1019 H.

Setelah kerajaan Soppeng takluk, maka satu bulan kemudian Tanpa Wajo pun diserang pasukan Gowa dengan kekuatan yang lebih besar daripada penyerbuan Tana Soppeng. Hal itu karena Pasukan Soppeng ikut menyertai Aliansi Gowa. Melalui pertempuran sengit di bawah pimpinan arung Matoa Wajo, maka pertahanan Wajo tembus. Akhirnya Raja Wajo La Sangkuru Patau MulajajiE bersama dengan Rakyat Wajo takluk dan memeluk agama Islam pada 15 Syafar 1019 H. Raja Wajo mendapat gelar Islam yakni Sultan Abdul Rahman serta mendapat gelar sewaktu wafatnya yakni Petta MatinroE ri Alleperenna.

Demikian, setelah kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng sebagai sekutu Kerajaan Bone telah Takluk, maka Giliran Tana Bone diserang oleh Aliansi Gowa dengan pasukan yang telah ditaklukkan nya. Tidak terlalu lama, akhirnya Tana Bone sebagai pertahanan Tellumpoccoe pun takluk. Raja Bone mengikrarkan kalimat syahadat pada tanggal 20 Ramadhan 1020 H.

Tulisan Asli : http://andioddang.blogspot.com/

Share with your friends

Komentar Kami Moderasi Penuh