CENDEKIA ULUNG : Belajar Sejarah
Tampilkan postingan dengan label Belajar Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Belajar Sejarah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Mei 2020

0

Sekilas Kisah Kerajaan Belawa bagian Lima

Kisah Kerajaan Belawa bagian Lima
Semarak HUT RI di Belawa
Rumpa'na Belawa MaduaE

Jika penyerbuan Tana Belawa oleh Wajo Pada era La Tadampare'Puang ri Maggalatung dapat dikatakan sebagai Rumpa'na Belawa MammulangngE, maka inilah Rumpa'na Belawa MaduaE

Belawa, pada penghujung abad XVII, yang ketika La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE Arung MatinroE ri Batu bertahta di Belawa. Raja Belawa ini menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang serta menginjak-injak nilai pribadi kemanusiaan orang Bugis (Siri Na PessE). Perilaku Raja ini terkenal dan ditulis dengan tangan gemetar pada lontara'na TippuluE, dengan istilah "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Bahwa perilaku Raja Belawa pada Setiap hari pasar memerintahkan kepada pengawalnya untuk menggantung (memasang) kelambu di pinggir jalan yang ramai di lewati rakyatnya.

Arung belawa, yang berada di dalam kelambu mengintip keluar, memperhatikan para wanita yang lewat yang menuju kepasar dan kembali ke pasar. setiap Wanita yang memenuhi Syarat Raja, maka Pengawal diperintahkan untuk meringkusnya dan memasukkan secara paksa kedalam kelambu, tanpa memperdulikan status wanita tersebut, apakah sudah bersuami atau masih gadis. Raja ini melakukan tindakan yang tidak pantas dan meluapkan Hasrat seksual nya. Dan pada waktu kini, lokasi tempat Raja Belawa memasang kelambu di abadikan dan ditandai dengan nama : GalungngE Lawiring Kaleng, merupakan area persawahan yang terletak di sebelah Utara SD Negeri Machero, Kelurahan Machero.

Banyak tindakan Lo Oddang Arung Belawa yang sangat radikal perihal kehipudan romantisnya yang meninggalkan torehan sejarah "risih" dimasa kini. Diantaranya adalah penamaan sebuah kampung yang terletak di bagian selatan Belawa, yaitu Limpo MakkunraiyyE, Yang dimana kampung tersebut awalnya adalah tempat La Oddang mengumpulkan (menyekap) wanita-wanita yang disukainya. Sekarang kampung itu diubah menjadi Lempong MakkunraiyyE.

La Oddang Arung Belawa sering melakukan pembunuhan, utamanya pada kerabatnya sendiri yang berani menegur (mengingatkan) perilaku Baginda, dimana yang dilanggar adalah Siri na PessE. Di lain sisi, La Oddang Arung Belawa berkehendak Tana Belawa ingin lepas dari dominasi Kerajaan Wajo. Keputusan ini tindakan  separatis yang teramat berani, La Oddang terobsesi bahwa Tana Belawa adalah tanah Merdeka sebagaimana awalnya didirikan oleh DatuE La Monri Arung Belawa MammulangngE MantinroE ri Gucinna sebagai leluhur Belawa.

Untuk mencapai keinginan itu, maka Raja Belawa La Oddang meminta dukungan dari Addatuang Sidenreng (Raja Sidenreng) mengingat ibu dari Raja Belawa yakni DatuE Arateng bersaudara dengan Addatuang Sidenreng.

Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, bahwa Tana Belawa adalah bagian dari wilayah Serikat dari Tana Wajo yang bernaung pada bendera Ranreng Tuwa sejak pemerintahan Arung Matoa Wajo La Tadampare'Puang ri Maggalatung dengan status Ana' Macenning. Mendengar tindakan Arung Belawa La Oddang yang brutal itu, Maka Arung Matoa (Raja Wajo) beserta segenap Arung PatappuloE mengutus Suro ri batei untuk memanggil Raja Belawa ke Tosora (KotaRaja Wajo) untuk diberikan peringatan agar menghentikan Tindakan dan keputusannya.

Sesampainya di hadapan Arung Belawa, Suro ri Batei menyampaikan pesan Arung Matoa serta Petta EnnengngE. Mendengar maklumat itu, meledaklah murka Arung Belawa. Baginda turun tangan sendiri menikam utusan tersebut hingga tewas di tempat itu. Mengetahui Suro ri Batei diperlakukan demikian, maka Arung Matoa geram.

Setelah melihat tidak ada lagi jalan lain, pada puncak kemarahannya Arung Matoa atas persetujuan Petta EnnengngE dan Ade' PatappuloE, memutuskan memberi ganjaran kepada Arung Belawa dengan status hukuman I Paoppangi Tana atau Ipaggeoni Wennang Cella'. Sebuah pasukan terlatih dan bersenjata lengkap dalam jumlah besar dibina untuk menyerang Belawa. Pasukan ini dipimpin oleh La Sappo Petta Ugi Arung Liu (merangkap Arung Palireng, Soppeng).

Suatu hal yang unik Disini, bahwa yang berhak memimpin perang dari Tana Wajo dalam hal memadamkan pemberontakan Kerajaan Bawahan adalah Petta Pilla'E selaku Panglima besar yang dijabat secara turun temurun oleh Datu Pammana. Namun peristiwa ini, La Sappo Petta Ugi yang dipilih untuk memimpin pasukan untuk menyerang Belawa, mengingat La Sappo Petta Ugi adalah saudara ipar dari La Oddang Arung Belawa. ( La Sappo menikah dengan adik La Oddang, yaitu I Besse Tungka').

Keputusan ini di tempuh dengan pertimbangan untuk menjaga kewibawaan AkkarungengngE Belawa. Seolah-olah Penyerbuan ini bukanlah Hukuman dari Tana Wajo, melainkan lebih di artikan sebagai pertikaian dalam keluarga atau digambarkan sebagai seorang saudara mengingatkan saudaranya yang lain dengan cara yang lebih keras.

Maka penyerbuan itu benar-benar terjadi, Pasukan Wajo mengalir memasuki Tana Belawa melalui Danau Tempe. Pasukan La Sappo menumpang perahu mendapat di Limpo MakkunraiyyE. Namun tidak seperti dibayangkan semula, pasukan Belawa tidak memberikan perlawanan yang berarti. Hal ini disebabkan karena terjadi perpecahan dalam internal pasukan Belawa sendiri. Sebagian besar Pasukan Belawa yang dipimpin oleh Petta Pangulu Barisi'E (Panglima Belawa) tidak bersedia bertempur membela Arung Belawa. Bahkan Pasukan Belawa menyambut dan mengelu-elukan pasukan Wajo uang di Pimpin La Sappo karena di anggap sebagai pembebas dari tirani yang menyengsarakan mereka selama ini.

La Oddang Arung Belawa dengan beberapa Pasukan setianya, mundur menuju Bulu Cenrana, yakni sebuah daerah asal muasal Raja Belawa Pertama, leluhur dari Arung Belawa. Maka rombongan Raja Belawa ini menyusuri sungai KarajaE kearah Utara. Namun kebiasaan buruk Lao Oddang tetap tidak dapat ditinggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis dan terdesak. La Oddang mengumbar Hasrat seksual nya di sepanjang perjalanannya dengan selalu "Maggattung Boco' ri Wiring Laleng". Tempat La Oddang yang paling lama ia Singgahi adalah di pinggir sebuah anak sungai KarajaE yang terletak di Lonra Yase, sehingga anak sungai itu diberi nama : Salo'e La Bulu Lessi. Namun mengingat penamaan tersebut dianggap tabu, maka pada masa sekarang di ubah menjadi : Salo MakkunraiyyE.

Melalui perjalanan yang menempuh berbagai kesulitan disebabkan tingkah Arung Belawa disepanjang perjalanan, akhirnya rombongan Ini tiba di Batu, yaitu sebuah Kerajaan kecil yang merupakan Wilayah Bulu Cenrana. Mengetahui La Oddang tiba di Kerajaan nya, Arung Batu dengan segala hotmatnya menyambut Raja Belawa bersama dengan pengikutnya. Melihat Keramahan dari Arung Batu, Arung Belawa terkesan dan memutuskan untuk tinggal menetap di Batu.

Dengan tulus, Arung Batu membangun pemukiman yang layak untuk Arung Belawa beserta Pengikutnya. Maka La Oddang yang menerima segala kebaikan tersebut tidak akan melakukan tindakan Seksual yang selama ini sebagai kebiasaannya. Arung Belawa dengan segala kekurangannya tetaplah pada dasarnya adalah manusia yang bernurani. Kelembutan dan ketulusan Arung Batu menyentuh hati La Oddang. Padahal jika di fikir, buat apalagi memuliakan seorang Raja yang kini tanpa kekuasaan apa-apa ? Seorang Raja yang tidak lebih merupakan Eksudos yang memerlukan belas kasih. Namun karena semangat PessE (solidaritas kemanusiaan), maka Arung Batu senantiasa menghargai serta memberikan perlindungan kepada La Oddang sebagai kerabat yang dimuliakan.

Perlahan namun pasti, La Oddang Arung Belawa mulai merubah prilakunya. Jika Allah berkenan melimpahkan petunjuk dan hidayah-Nya, maka tidak sesuatu yang dapat menghalangi-Nya. Akhirnya La Oddang benar benar sadar dan melanjutkan sisa hidupnya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanallah Wataalah.

Beberapa tahun kemudian, Arung Belawa ini wafat, dan nama beliau tecatat dalam Lontara Pangurisengna TippuluE sebagai : La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE MatinroE ri Batu.

Jumat, 05 Oktober 2018

0

Sekilas kisah Kerajaan Belawa bagian Ke empat

Kisah kerajaan Belawa bagian ke empat
Gerbang masuk Belawa dari Sidrap 
Musu Aselengeng

Pada awal abad XVII, yakni sekitar tahun 1600 M Sulawesi Selatan dikunjungi oleh ulama-ulama besar yang merupakan mubaligh pengembang risalah Islam dari Minangkabau, Sumatera Barat. Mereka terdiri dari tiga orang, yakni :

  1. Abdul Makmur Khatib Tunggal yang bergelar Datok ri Bandang 
  2. Sulaiman Datok Sulung yang digelari Datok Patimang
  3. Abdul Jawad Maulah Khatib Bungsu bergelar Datok Tiro
Ketiga mubaligh tersebut tiba di Pelabuhan Makassar yang merupakan Pelabuhan besar di Kerajaan kembar yaitu Gowa-Tallo (sekarang Makassar) yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia pada waktu itu. 

Ketiga Mubaligh itu tinggal bersama, berbaur dengan para pedagang melayu di luar tembok Kerajaan Tallo dan memulai menjalankan aktivitas nya sebagai penyebar agama Islam. Namun karateristik budaya masyarakat setempat (suku Makassar) terasa sulit untuk menerima yang datang dari luar komunitas mereka. Bahkan dari informasi yang mereka dapatkan dari masyarakat Gowa disekitarnya, bahwa beberapa tahun sebelumnya Babullah Sultan Ternate dari kepulauan Maluku mengajak Somba Gowa, Tunijallo (Raja Gowa) untuk masuk Islam, namun di tolak oleh sombayya sendiri.

masyarakat Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan pada umumnya ) mempunyai kerakter unik, dimana implementasi Siri na PessE yang merupakan inti paling luhur pada segala nilai perilaku adat dan budayanya, senantiasa menghendaki kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri. Sebagai contoh :

Seseorang yang di nasehati atau ditegur (iyampareng) oleh orang lain (Tania Tomasirina /reppena), maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran Siri. Dari itulah sehingga alur sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan sangat berbeda atau bahkan kontradiktif dengan daerah lainnya di Indonesia. Di Jawa, penyebaran agama Islam berawal dari rakyat jelata lalu berkembang sampai ke Raja dan kerabatnya. Sebaliknya di Sulawesi Selatan, risalah Islam selamanya dimulai pada Raja beserta pejabatnya kemudian memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengikuti Raja nya. 

Menyadari situasi dan kondisi tersebut, maka ketiga Mubaligh itu menyusun strategi yang disesuaikan dengan penalaran mereka tentang realitas politik di Sulawesi Selatan pada Zaman itu, yakni : Raja yang paling berkuasa adalah Raja di Gowa (Sombayya) dan Raja yang paling dimuliakan adalah Raja Luwu (PajungE) yang dianggap sebagai asal muasal bangsawan di Sulawesi.

Berbekal strategi itu, maka ketiga Mubaligh itu berangkat ke Tana Luwu dan langsung menemui La Tandipau Opunna Ware' Maddika Ponrang yang terlebih dahulu masuk Islam dengan gelar : AssellengengngE. Kemudian Maddika Ponrang yang mengantar ketiga Mubaligh tersebut menghadap PajungE yang pada masa itu dijabat oleh : La Patiware Sangaji Pati Arase' Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII. Mereka mengadakan dialog yang cukup lama tentang seluk beluk Agama Islam. 

Bahkan PajungE menerapkan beberapa macam ujian yang sangat sulit untuk membuktikan kebenaran Islam. Akhirnya PajungE bersama rakyatnya mengucapkan Dua Kalimat Syahadat pada tanggal 15 Ramadhan 1013 H (1603) dan Raja Luwu selalu Raja Islam di beri gelar tambahan, yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin serta tambahan gelar lagi ketika wafat yaitu Petta MatinroE ri Pattimang.

Setelah sukses menegakkan syiarnya di Luwu, maka dalam waktu tidak terlalu lama Sombayya Gowa (Raja Gowa) yang bernama I mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XVI (gelar Islam : Sultan Alauddin) dan Karaeng Tallo (Raja Tallo) I Malingkaan Daeng Manyonri (gelar Islam: Sultan Abdullah Awwalul Islam), bersama dengan segenap kerabat Istana Gowa-Talll mengucapkan Kalimat Syahadat pada hari Jum'at 9 Jumadil Awal 1015 Hijriah (22 September 1605 M).

Maka terpenuhilah langkah-langkah strategi sebagaimana direncanakan sebelumnya oleh ketiga Mubaligh tersebut. Gowa sebagai kerajaan paling kuat, di jadikan sebagai pusat penyebaran syiar Islam ke kawasan Kerajaan Tellompoccoe yaitu Bone, Wajo, Soppeng, di bawah pimpinan Sultan Alauddin Raja Gowa.

Tidak seperti halnya dengan jalannya misi ke Luwu dan Gowa, maka penyebaran Islam pada Ketiga Kerajaan Bugis itu mendapatkan tantangan berat. Dapat dimaklumi bahwa penyebab penolakan tersebut adalah karena urusan penyebar Islam ini melibatkan Kerajaan Gowa secara langsung. Dengan demikian, ketiga kerajaan tersebut beranggapan bahwa menerima Islam berarti takluk terhadap kekuasaan Gowa yang pada waktu itu Gowa dengan Kerajaan Bugis sering konflik.

Berbeda dengan Kerajaan Bone, La Tenri Ruwa Arung Palakka Mangkau' ri Bone XI dapat melihat kebenaran Islam sebagai agama yang benar dan kemudian mengucapkan kalimat syahadat dengan penuh keikhlasan dan diberi gelar Islam yaitu : Sultan Adam.

Namun rakyat Bone melalui Ade' PituE menolak dengan memberi opsi kepada Raja Bone :

"Tega Tapile, Akkarungetta iyarega Teppe'ta ?". Yang mana anda pilih, tahta atau agama ?..

Maka dengan tanpa keraguan sedikitpun Raja Bone itu memilih agamanya, lalu bersama dengan kerabat dekatnya mereka meninggalkan Tana Bone menuju Bantaeng dan menetap di Daerah itu sampai wafat nya hingga di beri gelar : Petta MatinroE ri Bantaeng.

Di lain sisi, La Sangkuriang Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo (Raja Wajo), BeoE Datu Soppeng (Raja Soppeng), dan La Tenri Pale' Mangkau' ri Bone XII (Raja Bone) pengganti La Tenri Ruwa, bersiap siap menyambut serbuan Bala tentara Kerajaan Gowa sebagai akibat penolakan mereka terhadap ajakan Somba Gowa (Raja Gowa).

Maka penyerbuan itu benar benar di laksanakan Kerajaan Gowam Peperangan ini disebut dalam Lontara sebagai Musu Aselengeng.

Sebagai langkah awal, Pasukan Gowa terlebih dahulu menyerbu kerajaan kecil dari ketiga kerajaan tersebut. Namun banyak dari kerajaan kecil itu menerima Islam dengan damai, sehingga tidak terjadi peperangan. Bahkan lebih jauh lagi mereka bergabung pada Penyerbuan yang di pimpin langsung Raja Gowa sehingga pasukan itu terhimpun menjadi pasukan yang amat besar.

Pasukan ekspedisi itu akhirnya tiba di Sawitto (daerah Pinrang). Addatuang Sawitto ke-IX bernama I Tenri Sulle Daeng Buleang menerima baik Somba Gowa dan secara tulus ikhlas menerima Agama Islam pada tahun 1017 Hijriah (1607).

di daerah Sawitto, Sultan Alauddin ( Raja Gowa) mengatur strategi ekspedisi lebih lanjut ke daerah lainnya. Akhirnya Pasukan Gowa dengan yang telah bergabung bertemu dengan pasukan Tellompoccoe di kampung Pakkenya. Terjadilah pertempuran besar yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa pada kedua belah pihak.

Setelah pertempuran terjadi selama beberapa hari, pasukan Gowa mulai tersedak. Pasukan Tellompoccoe menyerang semakin gencar, sehingga orang-orang Gowa beserta sekutunya berusaha meloloskan diri sambil membawa Raja Gowa untuk tiba kembali ke kerajaan Gowa.

Tiga bulan setelah penyerbuan yang gagal itu, Sultan Alauddin (Raja Gowa) menyusun kekuatan kembali. Pasukan Gowa mendarat di Akkotengeng (wilayah Wajo) dan mendapatkan sambutan baik. Arung Akkotengeng menerima Islam dan memihak Raja Gowa, menyusul pula Arung Akkajeng, Arung Padaelo, Arung Kera dan Arung Sakkoli. Sejak itulah sehingga kerabat ke-5 Kerajaan Bawahan Wajo tersebut menggemari bangsawannya sebagai : Petta KaraengngE sebagai penghargaan atas Budi baiknya terhadap Raja Gowa.

Mengetahui kejadian tersebut, Arung Matoa Wajo mengirim utusan untuk menegur Kerajaan Bawahannya itu yang dianggap sebagai pengkhianatan sambil mengingatkan ikrar yang sejak dulu di bina sejak Arung Matoa La Tadampare'Puang ri Maggalatung. Namun kerajaan bawahan itu menjawab :

"Dewata seuwwaena passarangngi', nasaba' engka Akkacoereng mannessa Tongeng, napputea Wajo maccoeri..."

Semalam setelah utusan Wajo tiba dari Sakkoli, Pasukan Gabungan Tellompoccoe menyerbu pasukan Gowa di Akkotengeng. Terjadilah pertempuran sengit, namun kembali pasukan Gowa terpukul telak. Sultan Alauddin nyaris tertangkap andaikan tidak mendapat bantuan dari La Wawoi Arung Gilireng bersama pasukannya meloloskan Raja Gowa beserta sebagian pasukannya yang masih hidup kembali ke Gowa.

I Manggurangi Daeng Mangrabia Sultan Alauddin sosok seorang Raja yang amat keras Hati dan pantang menyerah terhadap apapun yang menghambat segala yang telah di rencanakannya. Enam bulan berlalu setelah kekalahannya di Akkotengeng Wajo, Raja Gowa kembali menyusun penyerangan dan mendaratkan pasukannya di daerah Para'-Para' (pare-Pare). Pendaratan itu di ketahui oleh Pasukan Tellompoccoe dan segera mencegatnya di lereng Bulu DituppuE (daerah sekitar amparita).

Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat mengakibatkan gugurnya pimpinan pasukan Soppeng, diantaranya : La Tijawa Arung Bila. Pasukan Tellompoccoe terpukul mundur sampai di Lalempulu (wilayah Sidenreng). Melihat pasukan lawannya mundur meninggalkan Medang pertempuran, maka Sultan Alauddin segera membangun .Pertahanan di daerah itu sambil mengkontrol kembali pasukannya.

Tiga Raja Bersaudara yakni, La Patiro Addatuang Sidenreng VI, La Makkeppeang To Aggiling Arung Belawa Timoreng dan La Wawoi Arung Gilireng mengetahui bahwa Sultan Alauddin sedang membuat basis pertahanan di Amparita, maka ketiga Raja itu berkumpul di Allakuang yang merupakan KotaRaja Sidenreng pada masa itu.

Perlu diketahui bahwa ketika Sultan Alauddin berada di Akkotengeng ketika Pasukan Gowa ingin menyerbu Tellompoccoe, La Wawoi Arung Gilireng merupakan salah satu Raja yang tertarik dengan Ajaran Islam yang di bawah oleh Raja Gowa. Disebabkan karena itulah sehingga Arung Gilireng tidak dapat berdiam diri ketika mengetahui Raja Gowa sedang terkepung oleh pasukan Tellompoccoe, maka segera menerjunkan diri di kancah pertempuran dengan pasukan pemberaninya untuk menyelamatkan Sultan Alauddin. Walaupun itu berarti merupakan sebuah penghianatan atas ikrar penyatuan Gilireng sebagai Lili (daerah taklukkan) Wajo dimasa Lalu Tadampare'Puang ri Maggalatung.

Akhirnya Sultan Alauddin berkunjung ke Saoraja Allakuang, disambut dengan penuh hormat oleh Raja-Raja yang telah menunggunya. Raja-raja itu ialah : Addatuang Sidenreng (tuan rumah), Arung Belawa, Arung Gilireng, Arung Rappeng, Arung Maiwa, Arung Bulu Cenrana, dan Arung Utting. Pada saat itulah Raja Raja tesebut mengucapkan Dua kalimat syahadat pada tahun 1028 H.

Atas usul Addatuang Sidenreng La Patiroi, maka Raja Gowa membangun benteng pertahanan di Rappeng. Beberapa waktu setelah itu, Pasukan Tellompoccoe menyerang dengan dahsyat benteng pertahanan di Rappeng. Namun Aliansi Pasukan Islam dibawah pimpinan Sultan Alauddin lebih siap dengan strategi pertahanan yang lebih terkoordinasi. Maka pasukan Tellompoccoe di pukul mundur dan kembali ke kerajaan nya masing-masing.

Dua bulan setelah penyerangan itu, pasukan Gowa dan segenap aliansinya menyerbu Pusat pertahanan pasukan Soppeng di Tanete (Mario riawa). Kali ini, pasukan Soppeng tidak mendapat bantuan dari pasukan Wajo dan Bone karena mereka sibuk mengatur basis pertahanannya masing-masing.

Kekuatan pasukan Tellompoccoe telah pecah, kerajaan bawahan Soppeng, satu demi satu ditaklukkan. Akhirnya pertempuran habis-habisan yang menelan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak. Kerajaan Soppeng takluk dan menyatakan kalah perang pada Gowa dan aliansinya. Satu Soppeng BeoE menerima agama Islam pada tanggal 15 Syawal 1019 H.

Setelah kerajaan Soppeng takluk, maka satu bulan kemudian Tanpa Wajo pun diserang pasukan Gowa dengan kekuatan yang lebih besar daripada penyerbuan Tana Soppeng. Hal itu karena Pasukan Soppeng ikut menyertai Aliansi Gowa. Melalui pertempuran sengit di bawah pimpinan arung Matoa Wajo, maka pertahanan Wajo tembus. Akhirnya Raja Wajo La Sangkuru Patau MulajajiE bersama dengan Rakyat Wajo takluk dan memeluk agama Islam pada 15 Syafar 1019 H. Raja Wajo mendapat gelar Islam yakni Sultan Abdul Rahman serta mendapat gelar sewaktu wafatnya yakni Petta MatinroE ri Alleperenna.

Demikian, setelah kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng sebagai sekutu Kerajaan Bone telah Takluk, maka Giliran Tana Bone diserang oleh Aliansi Gowa dengan pasukan yang telah ditaklukkan nya. Tidak terlalu lama, akhirnya Tana Bone sebagai pertahanan Tellumpoccoe pun takluk. Raja Bone mengikrarkan kalimat syahadat pada tanggal 20 Ramadhan 1020 H.

Tulisan Asli : http://andioddang.blogspot.com/

0

Sekilas Kisah Kerajaan Belawa bagian Ketiga.

Kisah Kerajaan Belawa bagian Ketiga.
Rumah Panggung di Belawa
Menegakkan PesseE

Setahun setelah penaklukkan Kerajaan Sidenreng, Pajung Luwu bertikai lagi dengan La Tenri Sukki Mangkau' ri Bone V ( Raja Bone ). Konflik nya bermula ketika Luwu mengklaim Daerah Cenrana yang selama ini di bawah kedaulatan Kerajaan Bone sebagai Wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu.

Dapat dijelaskan bahwa setelah PajungE memaklumatkan perang pada Tana Bone, maka Raja Luwu mengutus To Ciung Tongeng MaccaE sebagai Bila-bila Musuu' ke tana Wajo untuk mengajak Arung MatoaE ikut menyerbu Tana Bone. Namun La Tadampare' (Raja Wajo) enggan menyertai PajungE karena peristiwa pembakaran Sao Locci'e (Istana Sidenreng)  yang membuat Raja Wajo masih merasa kesal.

Maka Pasukan Luwu menyerbu Tana Bone dibawah pimpinan PajungE hanya sendiri. Mereka berhasil menduduki Cenrana pada hari itu juga. Setelah semalam di daerah yang menjadi penyebab konflik itu, Pasukan Luwu bersiap siap melanjutkan penyerbuan ke Watampone ( pusat Kerajaan Bone ) melalui daerah Cellu' melewati jalur sungai dengan perahu. 

Namun ditengah perjalanan, Pasukan Luwu bertemu dengan Serombongan Pasukan Wanita dari Kerajaan Bone, dan Pasukan Bone tersebut menyerang Iring-iringan Pasukan Luwu dengan panah dari seberang sungai Cenrana.

Melihat hal tersebut, maka tanpa koordinasi yang matang, pasukan Luwu mengejar para pasukan Wanita Bone itu yang lari berserabutan ke segala arah. Rupanya inilah yang di tunggu-tunggu pasukan Bone yang lain, melihat pasukan Luwu yang berlarian mengejar pasukan wanita dengan kacau balau, maka pasukan yang lain serentak menyerbu pasukan Luwu dengan dahsyatnya. 

Pasukan Luwu yang tidak menyangka serangan balik yang mengejutkan itu menjadi kocar-kacir, dan berlarian menyelamatkan diri menuju perahunya yang berada di pinggir sungai. Termasuk dalam hal ini PajungE Sendiri.

Dikisahkan dalam lontara Sukkuna Wajo (LSW), PajungE yang berbadan gemuk itu berlari ke pinggir sungai, tetapi di hadang dan di sergap oleh Pasukan Bone. PajungE tidak berdaya ketika Pasukan Bone menyergap nya dan bersiap-bersiap mengayunkan Kelewangnya ke leher PajungE.

Tiba-tiba Mangkau'E (Raja Bone) segera tiba di tempat itu dan mencegah pasukannya untuk membunuh PajungE. Bahkan Mangkau'E melepas PajungE beserta sisa-sisa pasukan Luwu yang masih hidup untuk ke Tana Luwu dengan penuh kehormatan.

Sebagai tanda kemenangan perang, Mangkau'E menyita Payung Kebesaran Tana Luwu yang dibawah oleh PajungE sewaktu menyerbu Tana Bone. Maka sebagai peringatan yang menandai kemenangan yang heroik atas Luwu, maka Raja Bone diberi gelar, yaitu : La Tenri Sukki MAPPAJUNGNGE

Adapun halnya dengan Arung Matoa Wajo, mendengar kekalahan Luwu di Tana Bone maka Arung Matoa segera mengumpulkan Arung PatappuloE untuk mendiskusikan perihal menentukan sikap Tana Wajo terhadap peristiwa kekalahan Luwu tersebut.

Sebagai sekutu Luwu yang telah mengikrarkan LammumpatuE ri Topaceddo', maka budi ksatrianya menghendaki Raja Wajo untuk menuntut balas pada Tana Bone. Namun disisi lain, sebenarnya La Tadampare' ( Raja Wajo ) merupakan seorang pangeran Bone dari garis keturunan ibunya. Dimana La Tenri Ampa Arung Palakka merupakan adik ibu Raja Wajo.

Maka Ade Assamaturuseng Arung PatappuloE yang merupakan hukum tertinggi di Tana Wajo memutuskan bahwa melaksanakan perjanjian Persekutuan LammumpatuE ri Topaceddo' adalah sesuatu yang wajib. Menegakkan PessE ( solidaritas kemanusiaan) terhadap martabat perjanjian dengan Luwu harus ditunaikan dengan melakukan penyerbuan ke Tana Bone, yang notabene adalah kerabat dekat dari Arung Matoa.

Maka pasukan Wajo menyerang Tana Bone dan berhasil menduduki daerah Cenrana selama beberapa hari. Setelah itu, Pasukan Wajo kembali ke Wajo tanpa meneruskan serangan ke Watampone yang sebagai pusat Kerajaan Bone.

Raja Bone La Tenri Sukki MAPPAJUNGNGE yang bijak dan Arif itu, dapat memahami bagaimana posisi La Tadampare' Puang ri Maggalatung (Raja Wajo) sebagai sekutu dari tana Luwu.

Beberapa hari setelah peristiwa serangan pasukan Wajo di Cenrana, Baginda Raja Bone, Mangkau'E mengadakan kunjungan ke tana Luwu. Dengan maksud untuk mengembalikan Payung Kebesaran Luwu yang di rampasnya dulu. Namun, PajungE menyambutnya dengan bijak, dan berkata :

" Talani ie' Pajungnge, tapammanari Ana' appota.. engkamopa laingnge Pajung monro ri tana Luwu.. "

Kamis, 04 Oktober 2018

0

Sekilas Kerajaan Belawa Bagian Kedua

Kisah Kerajaan Belawa Bagian Kedua.
Pertandingan bola di OngkoE, Belawa

👉 Sejarah belawa bagian pertama (KLIK)

Maka penyerbuan dua sekutu itu dimulai pada waktu yang telah disepakati. Satu persatu sekutu Kerajaan Sidenreng di gempur pasukan Wajo yang dipimpin sendiri oleh La Tadampare'. Bermula pada Kerajaan Belawa yang diserbu oleh pasukan gabungan Luwu dan Wajo melalui jalur danau Tempe. Kerajaan Belawa di gempur habis-habisan hingga takluk. Arung Belawa menyatakan sumpah sebagai Ana' ri Wajo. La Paturusi To Maddauleng yang menerima penyerahan itu, ia berkata dalam sambutannya :

"Iyanaritu adammu Belawa, nasa'bi Dewata seuwwaE, mupasengngngi ana apomu, temmuasarang Wajo ri Perri nyameng, murewe ri wanuammu, mua to tuwa. Pubicara i bicarammu, tennatamai Wajo bicara lalengmu. narekko engka bicarammu mabbali Wanua ri lalengpanua, temmule pasinawoi, uttamako ri Wajo, na Wajo pasinawoi, muattutui tanana Wajo. Napole ri lalengtogi, pole saliweng Togi maeloo'e rusa"ko, uttamako Wajo, muappoada di inammu."

Penyerbuan di lanjutkan ke Kerajaan Otting, yakni Kerajaan Sekutu Sidenreng yang terletak disebelah timur. Maka Arung Otting pun tidak mampu bertahan lebih lama sehingga terpaksa menyerah pula. "Maccucu piu, mappopo Dapo ala nawelai akkepuenna ri Wajo."

Maka kembali La Paturusi To Maddauleng menerima penyerahan itu sambil berkata :

"Iyanaritu nasabbi dewatae seuwwae adammu, Otting, mupasengeng Ana' appomu, tennala jaa' tana, tennatiwi tomate."

Maka hari-hari penuh pertempuran sengit itu diteruskan kearah Utara, yakni Kerajaan Rappeng dan Kerajaan Bulu Cenrana. Raja Wajo bertempur di garis depan dengan gagah berani, sehingga semangat tempur pasukan semakin berkobar. Akhirnya kedua negeri bertetangga itu menyerah dan menyatakan sumpah takluk pada Wajo.

Setelah negeri-negeri sekutu berhasil ditaklukkan, maka penyerbuan ke Kerajaan Sidenreng berlangsung mulus. Bagai air bah yang melanda, pasukan gabungan memasuki Sidenreng Tampa perlawanan yang berarti. AddatuangE (Raja Sidenreng) melalui utusannya bernama Nene' passiru menyatakan takluk. Akhirnya pesta kemenangan Luwu dan Wajo dirayakan di Wette'E.

Hasil rampasan perang di bagi dua. Kerajaan Belawa, kerajaan Otting, Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Bulu Cenrana di nyatakan sebagai wilayah taklukkan (lili') di bawah kedaulatan Kerajaan Wajo dengan status berbeda. Belawa ditetapkan sebagai Ana', sementara yang lainnya di berikan status sebagai Ata'.

Adapun dengan Kerajaan Sidenreng, negeri yang kalah perang itu mengalami nasib yang lebih menyedihkan di bawah penaklukkan Luwu.  Istana AddatuangE yang di sebut sebagai Sao Locci'e di hancurkan atas perintah To Ciung Tongeng MaccaE ri Luwu yang dengan sengaja mengambil api dari Belawa.

Walaupun sebelumnya addatuang Sidenreng melalui Nene passiru telah bermohon agar PajungE bermurah hati untuk membiarkan Istana tersebut, sambil mempersembahkan tebusan berupa se'bu kati yang terdiri dari emas dalam jumlah besar yang diterima oleh PajungE. Raja Luwu sempat mengajukan protes sewaktu terjadinya pembakaran istana AddatuangE tersebut karena dianggapnya hal tersebut sebagai tindakan yang tidak patut. Namun dengan ringannya PajungE berdalih,

"Tania Apinna Luwu manrei Sao Locci'e, naekiya Apinna mua Belawa."

Peristiwa tersebut kelak akan berdampak merugikan bagi La Dewaraja to Sengereng secara individu dan Kerajaan Luwu. Perlakukan semana-mena itu sedikit banyaknya menyebabkan pamor kewibawaan dan martabatnya menurut pandangan La Tadampare', sekutu yang di andalkannya. Karena sebagaimana yang tercermin pada nilai-nilai luhur orang Bugis, bahwa :

"Adami na to tau, molaitta gau', nrupaitta janci."

Tindakan yang melanggar janji dianggap sebagai sesuatu tindakan tercelah yang tidak berjiwa ksatria sehingga bertentangan dengan nilai siri na pesse yaitu Kehormatan dan kemanusiaan.

Tulisan Asli : http://andioddang.blogspot.com/
0

Sekilas Sejarah Belawa, Anak Emas Kerajaan Wajo

Sekilas Sejarah Kerajaan Belawa bagian Pertama.
Mesjid Darussalam, Belawa Wajo
Pada hamparan Daratan rendah yang terletak di penghujung sebelah Utara danau Tempe dan danau Sidenreng, terdapat sebuah pemukiman yang merupakan tempat dimana kerajaan kecil yang kemudian di sebut sebagai BELAWA .

Belawa berada di kawasan subur yang letak nya di kelilingi kerajaan-kerajan Besar, Yakni Kerajaan Wajo di sebelah Tenggara, Kerajaan Sidenreng di sebelah Barat dan kerjaan Soppeng berasa di seberang danau bagian selatan.

Belawa sekarang adalah salah satu kecamatan dari Kabupaten Wajo.

kisah Kerajaan Belawa ini kami kutip dari karya dari Puang Andi Oddang Tosessungriu sebagai Pemerhati Sejarah Bugis, sebagai mana Ungkapannya :

"Aku tidak MENULIS sejarah, Tapi kusedang MENGKAJI sejarah, agar kudapat MENGUKIR sejarahnya sendiri."


Ana'e Ri Wajo

Kerajaan Belawa didirikan oleh seorang pangeran dari Kerajaan Bulu Cenrana ( daerah Sidrap), bernama, La Monri Arung Belawa Mammulangnge Petta MatinroE ri Gucinna. Beliau lah yang memberi nama wilayah yang di dirikannya yaitu "Belawa" ( yaitu nama sejenis pohon besar yang getahnya dapat menyebabkan alergi pada kulit), sekaligus beliau memproklamasikan Belawa sebagai kerajaan berdaulat pada abad XIV Masehi.

Sebagaimana pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), bahwa pada penghujung abad XV terjadi peristiwa Rumpa'na Sidenreng, yakni perang berkepanjangan antara Kerajaan Luwu melawan Kerajaan Sidenreng yang melibatkan Kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Kemurkaan Pajung Luwu XVI (Raja Luwu) yang bernama La Dewaraja To Sengereng Dangkelalik Petta MatinroE ri Bajo pada seorang Raja Sidenreng yaitu Pateddungi Addaowang Addatuang Sidenreng IV mencetuskan peperangan diantara kedua Kerajaan Besar yang berpengaruh itu. Sementara itu, Kerajaan Sidenreng sebagai pihak yang bertahan mendapat dukungan dari empat kerajaan tetangganya yaitu, Kerajaan Belawa, Kerajaan Rappeng, Kerajaan Bulu Cenrana dan Kerajaan Otting, sehingga mampu bertahan dari gempuran pasukan Kerajaan Luwu yang notebene lebih besar kekuatannya. Hal inilah yang memaksa Pajung Luwu sendiri melakukan Muhibah (niat baik) ke Kerajaan Wajo untuk meminta bantuan kepada Arung Matoa Wajo (Raja Wajo) yang kala itu sedang di Jabat oleh La Tadampere' Puang ri Maggalatung. Ketika Perjalanan rombongan Pajung Luwu tiba di Topaceddo', dikirimlah utusan kepada Arung Matoa sambil membawa hadiah (oleh-oleh) berupa tiga orang ata (budak), tiga pasang sampu (sarung sutera) dan tiga pasang gelang emas sebagai pembuka kata penyampaian permohonan kiranya Arung Matoa berkenan ke Topaceddo' untuk menemui Raja Luwu.

Akhirnya pertemuan Pajung Luwu dan Arung Matoa Wajo itu berlangsung dengan Khidmat. Berkata Raja Luwu :

"Ammaseangga' Seajing, ce'de temmaegana, tepassiajinggi tanaE ri Luwu na tanaE ri Wajo. Seuwwa jaa nauru', seuwwa deceng nadduawai."

Berkata Raja Wajo :

"Kuru sumange'na waramparangmu na ada madecengmu, utarima usompawali, naiyyakia, iyya uwellau Opu, Ana'e Wajo na Ina Luwu. nasaba Iyyapa tau mappadaorane sinrajae."

Alangkah senangnya PajungE mendengar sambutan Arung Matoa yang rendah hati itu. PajungE berkata :

"Alamuni Larompong sipalili' mualatoi Siwa mattuttung salo pa'da'raii. Nappadaorowane tanaE Luwu, tanaE ri Wajo. Sisappareng deceng, tessisappareng Jawa."

Demikian lah pertemuan kerajaan itu yang ditandai dengan penanaman prasasti : LammumpatuE ri Topaceddo'. Penanaman prasasti itu dilaksanakan oleh To Ciung MaccaE ri Luwu sebagai perwakilan dari kerajaan Luwu dan La Paturusi To Maddauleng yang mewakili kerajaan Kerajaan Wajo.

Tertulis lah ikrar yang berbunyi :

" Naiyya assijancingenna tanaE Luwu, tanaE di Wajo, alle'ba'na Wajo. Namo napunippimua LuwuE panreiwi api Wajo naoto' sampa'i, napoadai, riunoi, to wajoe mokkotoi, Namo napunippimua wajoE panreiwi api Luwu naoto' sampa'i, napoadai, riunoi, Malilu sipakainge' mare'ba sipatokong, tessitereng ri bulue, tessinooreng ri lappa'e, tessijellokeng roppo-roppo. Namo maruttung lengngi'e, mawottong pere'tiwiE, temmalukka uluada tanaE. Nigi-nigi temmaringerrang ri uluada tanaE, iya kua apu-apunna tanana itello riampassangge ri Batue, Lettu ri monrinna temmaringerrangE uluadana tanana. Naripasawe' riase riawa. Nasa'bi Dewata seuwwaE appadaoroanengenna Luwu na Wajo.

Setelah pembacaan ikrar itu, PajungE menawarkan sebilah Kelewang (alameng) pada Arung MatoaE,

"Engka mua alamengku, Opu, Nakegana uleng tatanra terriwi Sidenreng ?, Tolak Raja Wajo sambil bertanya. Maka PajungE menyebut waktu yang akan ditetapkan untuk menyerbu kerajaan Sidenreng.

Mendengar jawaban itu, Arung Matoa Wajo menghunus Kelewang pusakanya sendiri lalu "mangngaru" (sumpah ksatria) dihadapan PajungE.

"Itawa' matu, Opu !, Urumpa'gi Sidenreng, upallalatung lipuuna, iwettaga' rekko tekkullei rumpa'i Sidenreng !."

Tulisan Asli : http://andioddang.blogspot.com/

Jumat, 07 September 2018

0

Beberapa nama lain Arung Palakka

Putra Mahkota Kerajaan Bone yang melawan kekuasan Kesultanan Gowa.
Raja Bone Arung Palakka

Arung Palakka memiliki nama lengkap yaitu La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru Arung Palakka Petta Melampe'e Gemme'na Datu Mario RI Wawo Petta Torisompa'e Sultan Sa_adduddin Datu Tungke'na Tana Ugi Mangkau' ri Bone - XV Petta Matinroe ri Bontoala. 

Dia adalah tokoh sentral yang mengubah jalan percaturan kekuasaan di kawasan Sulawesi Selatan pada Abad XVII yang sering di kaitkan dengan persaingannya dengan Sultan Hasanuddin. Dalam banyak buku tentang ketokohan dan perjuangannya, sering kali membuat pembaca, khususnya peminat sejarah Sulawesi Selatan yang bukan orang Bugis Makasar menjadi bingung karena banyaknya nama yang dilekatkan pada diri Arung Palakka.

Berikut beberapa nama lain Arung Palakka :
  1. La Tenri Tatta Toappatunru', adalah nama kecil dan nama remaja Arung Palakka. Kata depan "La" pada depan namanya tersebut bahwa yang bersangkutan adalah bangsawan (Laki-laki). Kata "Tenri" itu artinya tidak, sedang Tatta bermakna kemauan atau ambisi. "Toappatunru'" artinya yang menundukkan. Keseluruhan arti namanya adalah laki laki (bangsawan) yang tidak dapat dibatasi kemauan dan ambisinya dan orang yang menundukkan.
  2. Daeng Serang adalah nama Arung Palakka saat berada di Makassar (saat Bone telah di taklukkan oleh Kerajaan Gowa, Arung Palakka dan keluarganya diperkerjakan di rumah bangsawan tinggi Gowa. Sedang orang Bugis Bone - Soppeng lainnya menderita kerja paksa membangun benteng benteng Makkasar. Arung Palakka pun juga merasakan kerja paksa bersama lainnya.) Daeng Serang juga merupakan nama panggilan oleh ayah angkatnya, Karaeng Pattingalloang.
  3. Datu' Marioriwawo, artinya raja di Marioriwawo . Marioriwawo adalah kerajaan bawahan (palili) yang ada di Soppeng . Kerajaan ini adalah warisan dari ibunya. we' Tenrisau datu  Mario RI Wawo.
  4. Arung Palakka . Artinya Raja di Palakka. Palakka adalah salah satu kerajaan bawahan yang ada di dalam wilayah Bone. Kerajaan Palakka adalah warisan dari kakeknya La Tenri Riwayat Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng (Raja Bone XI).
  5. Petta Malampe'e Gemme'na artinya Raja yang berambut panjang. Nama ini terkait dengan sumpahnya bahwa Arung Palakka tidak akan memotong rambutnya jika belum berhasil membebaskan kerajaan Bone dari kekuasaan Gowa. Nantilah rambutnya dipotong setelah perjuangannya di anggap berhasil.
  6. Arung Ugi artinya Raja Bugis (Koningh der Bougis). Gelar ini melekat padanya setelah membebaskan negeri Bone dan memerdekakan kerajaan Bone dan Soppeng dari kekuasaan Gowa dan menjadi penguasa atasan (Raja Tertinggi) semua Kerajaan Bugis.
  7. Petta Torisompa'e artinya Raja yang disembah. Gelar ini melekat pada nya sebagai sebuah sebutan dari rakyatnya karena begitu diangungkannya sosok nya sebagai Pahlawan kesatria dan Raja yang berjasa menaklukkan Kerajaan Gowa - Tallo.
  8. Datu Tungke'na Tana Ogi artinya Raja sekaligus pemimpin tanah Bugis. Ini masih berkaitan dengan gelar Petta Torisompa'e . Karena jasanya membebaskan tanah Bugis.
  9. Sultan Sa'aduddin adalah nama gelar atau gelar Islam untuk Arung Palakka 
  10. Matinroe ri Bontoala artinya yang meninggal di Bontoala area makassar .
Masih ada beberapa nama lain yang melekat pada diri Arung Palakka, seperti Datu' Pattiro, Datu Lamuru dan lain sebagainya .

Tulisan ini di dapat dari berbagai sumber . 
0

Kumpulan Pepatah suku Bugis

Pepatah' merupakan jenis peribahasa yang berisi nasihat atau ajaran dari orang tua-tua. Pengertian pepatah adalah pribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang-orang tua.
Pepatah atau peribahasa Bugis

Berikut kumpulan Pepatah dari suku bugis. 

1. Adé’é temmakké-anak’ temmakké-épo. 
Artinya: “adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu”. Dalam menjalankan norma-norma adat tak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran harus dikenakan sanksi (hukuman) sesuai ketentuan adat yang berlaku. 

2. Ajak mapoloi olona tauwé.
Artinya: “jangan memotong (mengambil) hak orang lain”. Memperjuangkan kehidupan adalah wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan kekerasan, saling merampas atau menghalangi rezeki orang lain. 

3. Aja’ mumatebek ada, apak iyatu adaé maéga bettawanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilaé paweré-weré.

Artinya: “Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris”. 

4. Aju maluruémi riala paréwa bola.

Artinya: “hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah”. Di sini rumah sebagai perlambang dari pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sifat lurus (jujur) yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik. 

5. Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang .
Artinya: “ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan”. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.

6. Balanca manemmui waramparammu, abbeneng anemmui, iakia aja’ mupalaowi moodala’mu enrenngé bagelabamu. 
Artinya: “boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk berbini, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu”. Peringatan pada pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan

7. Dék nalabu essoé ri tenngana bitaraé.
Artinya: “tak akan tenggelam matahari di tengah langit”. Manusia tidak akan mati sebelum takdir ajalnya sampai. Oleh karena itu keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup. 

8. Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarié enrenngé lalenna paggollaé.
Artinya: “dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah”. Jalan yang ditempuh penyadap enau tak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan sebagai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya tak menghiraukan kebersihan, lantaran nnya itu tak diketahui orang. Kedua sikap di atas tak pantas ditiru karena mempunyai itikad kurang. 

9. Iapa nakullé taué mabbaina narékko naulléni magguli-lingiwi dapurenngé wékka pitu .
Artinya: “apabila seseorang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali”. Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin s/d Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga supaya memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.

10. Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalatongi aséya. 
Artinya: “Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi”. Jikalau adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat, binatang tumbuh-tumbuhan dan alam semesta.

11. Jagaiwi balimmu siseng mualitutui ranemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali.
Artinya: “jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan”. Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, dengan demikian lawan jadi bertambah, dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.

12. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’néka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na.
Artinya: “kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul”. Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

14. Lebbik-i cau-caurenngé napellorenngé.

Artinya: “lebih baik yang sering kalah daripada yang pengecut”. Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan pengecut, samasekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.

15. Malai bukurupa ricaué, mappalimbang ri majé ripanganroé.
Artinya: “memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan”. Dikalahkan dalam perjuangan hidup karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk, sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tak memiliki harga diri sama halnya mati.

16. Mattulu’ perajo téppéttu siranrang, padapi mapééttu iya.

Artinya: “terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya”. Perlambang dari eratnya persahabatan. Di mana masing-masing saling mempererat, memperkuat, sehingga tidak putus jalin kelingnya. Apabila putus satu, maka semua sama-sama putus. 

17. Massésa panga, temmasésa api, massésa api temmasésa botoreng.
Artinya: “bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak bersisa penjudi”. Betapa pun pintarnya pencuri tak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Seberapa besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (misalnya tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah yang tak dapat dicuri dan terbakar) dalam waktu singkat.

18. Mau maéga pabbiséna nabonngo ponglopinna téa wa’ nalureng.
Artinya: “biar banyak pendayungnya, tetapi bodoh juru mudinya”. Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak hal, tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.

19. Naiya riyasenngé pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adaé enrenngé gau’ é napoléié ja’ enrenngé napoléié décéng.

Artinya: “cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi, demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan”. 

20. Naiya tau malempuk-é manguruk manak-i tau sugi-é.

Artinya: “orang yang jujur sewarisan dengan orang kaya”. Orang jujur tidaklah sulit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya

21. Naiya accae ripatoppoki jékko, aggati aliri, narékko téyai maredduk, mapoloi.
Artinya: “kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, kalau tidak tercerabut, ia akan patah”. Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakn pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kias terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).

22. Narékko maélokko tikkeng séuwa olokolok sappak-i batélana. Narékko sappakko dallék sappak-i maégana batéla tau .
Artinya: “kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau mencari rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia”. Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

23. Narékko téyako risarompéngi lipak, aja mutudang ri wiring laleng.
Artinya: “kalau kamu tak sudi terserempet sarung, jangan duduk di tepi jalan”. Duduk di tepi jalan dianggap perbuatan yang tak wajar, karena banyak orang berlalu-lalang. Mengandung nasihat agar menjauhi segala sesuatu yang berbahaya supaya selamat.

24. Narékko maélokko madécéng ri jama-jamammu, attanngakko ri batélak-é. Ajak muolai batélak sigaru-garué, tutunngi batélak makessinngé tumpukna.
Artinya: “kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya” Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tidak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi adanya tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

25. Olakku kuassukeki, olakmu muassukeki
Artinya: “takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran”. Setiap orang mempunyai prinsip atau landasan berpikir sendiri-sendiri dalam memandang sesuatu. Oleh karena itu harus ada saling pengertian atau tenggang rasa supaya tak terjadi pertikaian.


26. Paddioloiwi niak madécéng ri temmakdupana iyamanenna.
Artinya: “Dahuluilah dengan niat baik sebelum melaksanakan pekerjaan”. Dengan adanya niat baik yang bersangkutan akan tertuntun ke jalan yang benar. Berniat baik saja sudah merupakan kebaikan, apalagi kalau dilaksanakan. 

27. Pauno sirié, mappalétté ri pammasareng essé babuaé.
Artinya: “malu mengakibatkan maut, iba hati mengantar ke liang”. Rasa malu yang tak terkendali dapat mengundang malapateka (mengundang maut). Perasaan iba yang berlebihan juga dapat membawa kesengsaraan dan mencelakakan (menyebabkan kematian).

28. Pala uragaé, tebakké tongenngé teccau maégaé, tessiéwa situlaé.
Artinya: “berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan”. Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak termusnahkan. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.

29. Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenngé nato’walié.
Artinya: “layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali”. Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca, yang berarti mendahulukan pertimbangan yang waras dan matang. Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang dan guling serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar atas dasar kata putus seperti di atas.

30. Rebba sipatokkong, mali siparappé, sirui ménré tessirui nok, malilu sipakainge, maingeppi mupaja.
Artinya: “rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti”. Mengandung pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Juga harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Jika semua itu dilaksanakan akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.